Binatang yang
dilindungi ini pada usia mudanya mempunyai paruh dan mahkota berwarna
putih. Seiring usianya, paruh dan mahkotanya akan berubah warna menjadi
oranye dan merah, ini akibat dari seringnya enggang menggesekkan paruh
ke kelenjar penghasil warna oranye merah yang terletak di bawah ekornya.
Burung ini menyukai daun Ara sebagai makanan favoritnya, tapi tidak
jarang juga makan serangga, tikus, kadal bahkan burung kecil.
Burung Enggang
mempunyai kebiasaan hidup berpasang-pasangan dan cara bertelurnya
merupakan suatu daya tarik tersendiri. Pada awal masa bertelur burung
jantan membuat lubang yang terletak tinggi pada batang pohon untuk
tempat bersarang dan bertelurnya burung betina. Selama mengerami
telurnya, sang betina bersembunyi menutup lubang dengan dedaunan dan
lumpur dengan lubang sebagai jendelanya. Kemudian burung jantan memberi
makan burung betinanya melalui sebuah lubang kecil selama masa inkubasi,
dan berlanjut sampai anak mereka tumbuh menjadi burung muda. Karena
itulah burung enggang ini dijadikan sebagai contoh kehidupan bagi orang
dayak untuk bermasyarakat agar selalu mencintai dan mengasihi pasangan
hidupnya dan mengasuh anak mereka hingga menjadi seorang dayak yang
mandiri dan dewasa.
Burung enggang biasa
bertengger di pohon yang tinggi, sebelum terbang Enggang memberikan
tanda dengan mengeluarkan suara gak yang keras. Ketika sudah mengudara
kepakan sayap enggang mengeluarkan suara yang dramatik. Burung ini hidup
berkelompok sekitar 2 sampai 10 ekor tiap pohon. Terkadang burung
terbang bersama dalam jumlah antara 20-30 ekor. Suara enggang ini sangat
khas dan nyaring sekali seakan-akan memanggil sekawannya di balik pohon
yang rindang. Musim telurnya dari bulan April sampai Juli dan anak-anak
burung yang lebih besar membantu burung jantan dewasa menyediakan makan
bagi burung betina dan anak-anaknya yang baru menetas.
Dalam budaya Suku
Dayak Kalimantan, burung enggang selalu menjadi bagiannya. Mitos dan
cerita di balik burung enggang berbeda-beda di setiap daerah salah satu
mitos tersebut mengatakan burung enggang adalah penjelmaan dari Panglima
Burung. Panglima Burung adalah sosok yang tinggal di gunung pedalaman
kalimantan dan berwujud gaib dan hanya akan hadir saat perang. Umumnya
burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi
dimakan. Bila ada burung enggang yang ditemukan mati, jasadnya tidak
dibuang. Bagian kepalanya digunakan untuk hiasan kepala. Rangka kepala
burung enggang yang keras bertulang akan tetap awet bentuknya. Hiasan
kepala inipun hanya boleh digunakan oleh orang-orang terhormat.
Namun sekarang ini burung enggang merupakan burung langka yang sudah
sangat sulit di temui di hutan Kalimantan, ini dikarenakan pengerusakan
hutan borneo yang terus-menerus terjadi, seperti penebangan hutan baik
illegal logging maupun untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
Nasib burung enggang ini sekarang sama seperti nasib suku Dayak di
borneo yang semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri. Hal ini juga
diperparah dengan maraknya perburuan yang dilakukan masyarakat sekitar.
Harga persatu kepala burung Enggang dihargai Rp. 2,5 juta. Karena
harganya yang mahal banyak warga pedalaman berlomba berburu burung
tersebut dihutan.
Buat blogger Anda .. saya menyukainya dan saya Ancungi Jempol siip deh, Like This. Iya memang di setiap cerita (Legenda)dan kepercayaan masyarakat Dayak Kalimantan (Borneo) terhadap burung Enggang itu berbeda - beda terutama bagi subsuku "Dayak Taman" / "Banuaka Taman" (Kapuas Hulu) dan "Dayak Iban" (Kapuas Hulu & Serawak).Kalou menurut kepercayaan kami orang Dayak Taman (kebetulan saya orang Dayak Taman),kami mempercayai jika menurut cerita nenek moyang kami bahwa Burung Enggang Gading (Burung Tantauan) itu adalah penjelmaan dari panglima sakti yang bernama "SUKA MORENG AWAN" bahkan tempat tinggal Rumah Betang Suka Moreng Awan ini masih ada dan Lebur menjadi Batu dan semua keturunannya sedangkan Suka Moreng Awan ini tidak bisa menjelma menjadi manusia lagi dan kembali menjadi Burung Enggang Gading.Lokasi rumah betang Suka Moreng Awan yang Lebur menjadi Batu ini ada di seberang perkampungan (Rumah Betang) Lunsa hilir (Kapuas Hulu) dan mayarakat Lunsa menamakan tempat itu "Bukit Bai' Sampee".So, jika ingin ke lokasi harus menyebrangi sungai Kapuas dengan sampan / motor air. Maka dari itu bagi masyrakat Dayak Taman sangat Tabu dan berdosa terhadap Tuhan jika kita memburu atau memakan daging dari Burung Enggang ini karena bagi masyarakat Dayak Taman (Kapuas Hulu) burung Enggang Gading termasuk burung suci dan saudara bagi kami (orang Banuaka Taman). Sekian terima kasih :)